BARAKAH; Definisi, Kisah & Pernak-perniknya
Barakah, banyak yang mengenal kata ini, tapi tidak semua
mengetahui dengan persis apa sih barakah itu? Apakah barakah benar-benar ada?
Siapa saja sih yang punya barakah? Apakah benda-benda juga punya barakah?
apakah ada hubungan antara mencari barakah dengan kemusyrikan? Bisakah barakah
dibuat ancaman, dijual atau dicabut? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang
mencoba diuraikan dalam SitusWahab kali ini dengan bahasa yang disederhanakan
sebisa mungkin dan referensi sebaik mungkin.Definisi.
Barakah disebut juga dengan berkah dalam istilah masyarakat
Indonesia. Yang dimaksud dengan barakah adalah bertambah dan berkembangnya
nilai sesuatu atau dalam bahasa Arab adalah الزيادة والنماء. Jadi, dengan kata
lain objek oleh barakah adalah peningkatan nilai atau kualitas, bukan
peningkatan kuantitas. Kegiatan mencari barakah disebut tabarruk atau ngalap
berkah dalam istilah jawa.
Untuk lebih mudahnya dipahami, perhatikan contoh berikut:
Uang bisa disebut barakah bila uang itu betul-betul
bermanfaat bagi kehidupan pemiliknya, meskipun nominalnya tidak banyak.
Barakahnya bisa sangat besar bila ternyata uang itu mampu memberikan
pertolongan yang lebih besar dari semestinya. Sebaliknya, uang dianggap tidak
barakah bila ternyata habis tanpa menjadi hal yang bermanfaat atau tidak dapat
memberikan tambahan kebahagiaan yang semestinya bagi sang pemilik, meskipun
jumlahnya banyak.
Rumah bisa disebut barakah bila orang yang tinggal di
dalamnya merasa tenteram, nyaman dan aman di rumah itu serta dikelilingi oleh
masyarakat yang baik, meskipun rumahnya sederhana. Sebaliknya, sebuah rumah
disebut sedikit barakah bila tidak dapat memberikan rasa tenteram, nyaman dan
aman itu pada penghuninya atau dikelilingi masyarakat yang buruk, meskipun
rumah itu besar dan mewah. Tentang ini, Nabi Nuh mengajarkan kita untuk memohon
pada Allah agar menempatkan kita dalam tempat yang barakah (munzalan mubarakan)
seperti disebut dalam ayat al-Mu’minun: 29.
Pernikahan disebut barakah apabila hubungan antara
suami-istri berlangsung baik, penuh sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta dan
empati) serta rahmah (kasih sayang). Sebaliknya, pernikahan dianggap sedikit
barakah apabila rumah-tangganya berantakan, penuh percekcokan dan
ketidaknyamanan. Karena itu, Rasul mengajarkan kita mendoakan pasangan
pengantin baru agar pernikahannya penuh berkah dengan doa yang sudah terkenal:
bārakallah lakumā wa bāraka ‘alaikumā wa jama’a bainakuma fi khair.
Jenis-jenis barakah.
Barakah ada yang bersifat rasional dan ada pula yang
bersifat supra-rasional. Yang bersifat rasional berarti barakah tersebut bisa
dinalar dengan rasio. Sedangkan yang bersifat supra-rasional berarti barakah
tersebut di luar jangkauan rasio atau dengan kata lain akal tidak dapat
menjangkaunya, tapi meski demikian tentu tidak tepat bila kemudian barakah
jenis ini disebut sebagai irasional atau tidak masuk akal hanya karena akal
kita tidak dapat menguraikannya. Betapa banyak hal-hal yang berada di luar
jangkauan akal tetapi benar-benar terjadi dalam kehidupan ini, lebih-lebih
dalam ranah agama yang berujung pada iman dan keyakinan individual.
Contoh barakah yang rasional: Seseorang berbuat banyak
kebaikan kepada masyarakat sekitarnya, maka hidupnya akan dipenuhi barakah berupa
berbagai bantuan, penghormatan, penghargaan dan pemberian dari masyarakat
kepada dirinya.
Contoh barakah yang supra-rasional: seseorang bersikap
hormat, sopan dan patuh pada gurunya, maka dia akan menerima barakah berupa
ilmu yang lebih mudah diserap, sulit terlupakan dan bermanfaat di hari
depannya. Secara rasio, tentu tidak ada hubungan langsung antara kesopanan
terhadap guru dengan manfaat ilmu yang didapat, tapi faktanya hal ini
benar-benar banyak terjadi.
Dalam al-Qur’an, ada ayat yang menyebutkan bahwa air hujan
itu adalah barakah. Ayat tersebut adalah:
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ
مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ [ق: 9]
Aku turunkan dari langit air yang barakah lalu dengan itu
Aku tumbuhkan kebun-kebun dan biji-biji tanaman yang diketam.
Barakah dalam ayat tersebut bisa diartikan secara rasional
dan dapat pula secara supra-rasional. Arti rasionalnya adalah air hujan
tersebut berkualitas dan sifatnya tidak merusak sehingga dengannya
tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur dan menghasilkan manfaat. Air penuh barakah
ini berlawanan dengan air hujan yang menjadi siksaan terhadap kaum Nuh yang
akhirnya menenggelamkan seluruh kaum kafir seperti dalam ayat Hud: 44. Arti
rasional seperti ini ada dalam sebagian besar tafsir al-Qur’an.
Namun, bukan hanya ini satu-satunya arti, barakah air hujan
yang berkualitas dan tidak merusak tersebut juga bisa diartikan secara
supra-rasional seperti yang diajarkan oleh sepupu Rasul yang bergelar Sang
Tarjuman al-Qur’an, Ibnu ‘Abbas ra. Imam Bukhari menceritakan bahwa Ibnu ‘Abbas
ketika turun hujan berkata pada pembantunya: يا جارية! أخرجي سرجي، أخرجي ثيابي
“Wahai pelayan, keluarkan pelana kudaku!, keluarkan baju-bajuku!” kemudian
beliau membaca ayat Qaf: 9 di atas. (al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, hadits
nomor 1228). Jelas sekali bahwa beliau memahami barakah dalam ayat tersebut
secara supra-rasional. Karenanya, pelana dan baju beliau diperintahkan untuk
dihujan-hujankan agar terkena barakah air tersebut.
Sekedar catatan, ada beberapa ayat lain dalam al-Qur’an yang
biasanya sering dianggap bagian dalam bahasan barakah ini, seperti misalnya
ayat Yusuf: 93 yang menceritakan tentang gamis Nabi Yusuf yang dikirimkan ke
ayahnya, Nabi Ya’kub, yang mengalami kebutaan sebab terlalu banyak menangis sedih.
Setelah Nabi Ya’kub mencium gamis putra kesayangannya tersebut secara ajaib
beliau bisa melihat kembali. Kesimpulan bahwa Nabi Ya’kub bisa melihat kembali
karena barakah gamis Nabi Yusuf masih bisa diperdebatkan hingga saya lebih
memilih untuk tidak menuliskannya di sini. Jadi hanya ayat yang jelas-jelas
saja seperti di atas yang saya rasa layak dirujuk dalam masalah ini.
Barakah dimiliki setiap mukmin.
Ada beberapa orang menyangka bahwa barakah hanya dimiliki
segelintir orang saja, seperti para tuan guru, ustad, kyai dan sebagainya.
Adapun orang-orang biasa kelas bawah yang sering dianggap “bukan siapa-siapa”
oleh kalangan di atasnya dianggap tidak punya barakah, tapi justru mereka harus
mencari barakah dari orang-orang yang dianggap lebih tinggi kedudukannya.
Anggapan seperti ini mutlak merupakan kesalahan. Barakah pada hakikatnya
dipunyai Allah dan diberikan pada seluruh hamba-Nya dan pada benda-benda yang
berhubungan dengan hambanya yang saleh. Tidak ada seorang pun yang bisa
memproduksi barakahnya sendiri.
Dalam sebuah hadith, disebutkan demikian:
وكان رسول الله صلى
الله عليه وسلم يبعث إلى المطاهر فيؤتى بالماء فيشربه يرجو بركة أيدي المسلمين
Rasulullah saw. menyuruh orang ke al-Mathahir (tempat wudlu
kaum muslim yang biasanya terletak di dekat pintu masjid) kemudian didatangkan
airnya lalu beliau meminumnya sambil berharap barakah tangan-tangan kaum
muslim. (Nuruddin al-Haitsami, Majma’ al-Zawā’id wa Manba‘ al-Fawā’id, Vol. I,
hlm. 265, hadits nomor 1071. Juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Thabrani)
Begitulah kemuliaan akhlak Rasulullah. Terang-terang tidak
ada orang yang lebih mulia dan mempunyai lebih banyak barakah dari dirinya,
tapi beliau masih mau meminum air dari tempat wudlu muslimin untuk mendapatkan
barakah mereka. Hadits ini juga menjelaskan bahwa setiap mukmin mempunyai
barakah, siapa pun dan apa pun kedudukannya di masyarakat. Senada dengan ini,
dahulu kala di Jember ada seorang kyai kharismatik yang bernama K. Abdul Aziz
yang kemudian juga dikenal sebagai KH. Ali Wafa. Alkisah, beliau pernah
didatangi tamu yang meminta barakahnya. Jawaban Sang Kyai ternyata demikian:
“Ya, sama-sama. Saya juga minta barakah anda”. Karena itu, tak ada alasan untuk
memandang bahwa orang-orang tertentu, semisal para Habib, Kyai, Ustadz dan
sebagainya adalah satu-satunya golongan yang dapat memberi barakah. Semua orang
hendaknya saling menghargai dan harus membuang perasaan superior atas orang lain
dengan dalih barakah.
Adapun tentang tabarruk-nya para sahabat Nabi terhadap Nabi
Muhammad saw, maka merupakan hal yang sepertinya sudah diketahui umum. Mereka
berebut sisa air wudlu dan air mandi Nabi, rambut beliau yang telah dicukur,
bahkan ludah, dahak, keringat dan darah beliau juga diperebutkan untuk diambil
barakahnya. Banyak hadits tentang ini yang hampir semuanya dapat
dipertanggungjawabkan kehujjahannya.
Kisah-kisah tabarruk.
Berikut ini adalah beberapa kisah tentang orang-orang mulia
yang mengharap barakah dengan cara-cara tertentu sebagai pelajaran bagi kita
semua.
Suatu saat sepeninggal Rasulullah, kota Madinah terkena
kemarau yang parah. Para sahabat kemudian mengadukan hal itu pada istri Nabi,
‘Aisyah ra. Kemudian beliau menginstruksikan para sahabat agar melubangi atap
makam Rasulullah hingga tak ada penghalang antara makan termulia tersebut
dengan langit. Para sahabat kemudian melakukannya dan secara ajaib hujan pun
turun dengan derasnya hingga rumput-rumput tumbuh subur. (Abdurrahman al-Dārimi,
Sunan al-Dārimi, sunan nomor 92.)
Pada saat perang Yarmuk, jenderal besar Khalid bin Walid
kehilangan kopiahnya. Beliau memerintahkan untuk mencari kopiah itu tapi tidak
ditemukan. Beliau lagi-lagi memerintahkan untuk mencari kopiah tersebut sekali
lagi hingga akhirnya ditemukan. Akhirnya beliau bercerita: “Suatu saat
Rasulullah beribadah umrah dan mencukur rambutnya. Orang-orang berebut rambut
sisi samping kepala Rasul, sedangkan Aku memperebutkan rambut ubun-ubun beliau
lalu aku meletakkannya di kopiah ini. Tak pernah sekalipun aku berperang
sewaktu memakai kopiah ini kecuali selalu diberi pertolongan”. (Nuruddin
al-Haitsami, Majma’ al-Zawā’id wa Manba‘ al-Fawā’id, Vol. I, hlm. 582.)
Imam Syafi’i mengharap barakah dengan berziarah ke Makam
Imam Abu Hanifah setiap harinya. Ketika beliau mempunyai masalah, beliau
terlebih dahulu shalat dua rakaat lalu mendatangi makamnya dan memohon kepada
Allah di sebelah makam imam mujtahid pendiri mazhab Hanafiyah tersebut. Kata
Imam Syafi’i: “Tidak lama kemudian kebutuhanku dikabulkan”. (Abu Bakar
al-Baghdadi, Tarīkh Baghdād, vol. I, hlm. 123).
Imam Ibnu Hibban, pengarang kitab hadits terkemuka,
bercerita bahwa ketika berada di daerah Thus, beliau sering berziarah ke makam
Sayyid Ali al-Ridha bin Musa al-Kazhim yang merupakan salah satu ulama besar
keturunan Rasulullah Muhammad saw. Ketika beliau menghadapi masalah pelik, maka
di makam tersebut beliau berdoa kepada Allah agar kesulitan itu hilang dan
secara ajaib kesulitan itu lekas menghilang. Imam Ibnu Hibban berkata: “Ini
adalah hal yang telah aku coba berulang kali dan terjadi demikian. Semoga Allah
mematikan kita dalam kecintaan pada Nabi dan keluarganya.” (Ibnu Hibban, Kitāb
al-Tsiqāt, vol. VIII, hlm. 456).
Imam Abu Ali al-Naisaburi, guru dari Imam al-Hakim pengarang
kitab al-Mustadrak konon pernah mengalami kesusahan yang sangat berat. Beliau
akhirnya bermimpi bertemu Rasulullah dan dalam mimpi itu Rasul bersabda:
“Pergilah engkau ke makam Yahya bin Yahya dan beristigfarlah pada Allah lalu
mintalah pada-Nya, maka keperluanmu akan dikabulkan.” Beliau lalu menjalankan
instruksi dalam mimpi itu lalu keperluannya benar-benar terkabul. (Husain
al-Zhahabi, Tahzhib al-Tahzhib, vol. IV, hlm. 398).
Ada banyak kisah-kisah lain yang tak terhitung jumlahnya
tentang tabarruk ini. Seluruh cara tabarruk dalam kisah tersebut di atas
dibenarkan dalam islam dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang
yang pemahamannya masih dangkal. Banyak dari kita melakukan tabarruk dalam
kegiatan sehari-hari hingga tidak sadar bahwa yang dilakukan adalah tabarruk,
semisal mencium tangan orang tua, para guru yang orang-orang yang dimuliakan.
Beberapa orang menyangka bahwa Khalifah Umar bin Khattab
melarang praktek tabarruk seperti itu. Diceritakan bahwa suatu saat Umar
melihat orang-orang bergegas beribadah ke tempat tertentu hingga akhirnya
beliau bertanya tentang itu. Orang-orang menjelaskan bahwa di tempat tersebut
Rasulullah pernah shalat. Mendengar itu kemudian beliau berkomentar: “Barang
siapa yang hendak shalat maka shalatlah, yang tidak mau shalat maka teruskanlah
perjalanannya. Sesungguhnya Ahlul Kitab celaka karena mereka mengikuti
peninggalan Nabi-nabi mereka dan menjadikannya sebagai gereja dan sinagoga”.
Pernyataan Umar itu tidak bisa dipahami secara umum bahwa beliau menolak
tabarruk karena beliau sendiri juga bertabarruk dengan peninggalan Nabi Ibrahim
tatkala mengusulkan untuk menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat hingga
akhirnya turun ayat al-Baqarah: 125 yang merestui usul tersebut. Ibnu Hajar
al-‘Asqalani, pakar hadits terkemuka dan salah satu imam besar mazhab Syafi’i,
mengomentari pernyataan Umar di atas sebagai kekhawatiran beliau takut-takut
orang awam menyangka bahwa shalat di tempat itu adalah kewajiban. (Ibnu Hajar,
Fath al-Bārī, vol. II, hlm. 231.)
Praktek tabarruk yang salah.
Beberapa orang awam salah paham dengan konsep ini. Dia tidak
membedakan mana yang tabarruk dan mana yang kesyirikan (penyekutuan terhadap
Allah). Akhirnya dia pergi ke kuburan tertentu yang dianggap keramat, entah itu
kuburan orang shalih atau kuburan dukun ternama dia tidak membedakannya atau
juga ke pohon-pohon tua atau wilayah-wilayah yang dianggap angker. Dia akhirnya
membakar dupa dan memberikan sesajen sambil meminta-minta pada si empunya kubur
atau jin si penjaga pohon atau yang mbaurekso (melindungi) wilayah angker itu
agar dengan kekuatan gaib yang dimilikinya keinginan orang itu bisa tercapai.
Seluruh proses ini dia sebut seenaknya sebagai ngalap berkah. Kenyataannya,
yang dia lakukan adalah kesyirikan.
Kisah-kisah tabarruk di atas yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
ternama jelas berbeda jauh dengan praktek syirik tersebut. Sangat disayangkan,
beberapa da’i muslim tidak membedakan mana tabarruk sebenarnya dan mana yang
tabarruk palsu, hingga dengan ceroboh memvonis semua kegiatan doa di kuburan
adalah syirik, semua tawassul adalah syirik, semua tabarruk dengan
atsar/peninggalan para ulama adalah syirik dan seterusnya. Di lain pihak, ada
juga yang secara pukul rata mengatakan bahwa setiap praktek tabarruk di
kuburan-kuburan adalah benar tanpa memperinci bahwa memang ada praktek sebagian
orang awam yang membumbuinya dengan kesyirikan. Wal iyādzu billah.
Aneh tapi nyata.
Tak dapat dipungkiri, dalam masyarakat terdapat hal-hal yang
bisa dibilang lucu yang berkaitan dengan barakah. Sebenarnya hal tersebut
berangkat dari kesalahpahaman saja dari beberapa lakonnya atau bisa juga
kesengajaan karena tujuan tertentu. Berikut ini contohnya:
Barakah dijual. Aneh bin ajaib memang, tapi beberapa orang
benar-benar “menjual” barakah. Ada yang menjual barakah orang lain semisal yang
terjadi di beberapa tempat makam wali songo. Penulis dulu pernah berziarah ke
makam Sunan Kalijaga, di pintu gerbang makam tersebut ada seorang pemuda yang
menyalami penulis dengan menyodorkan sebuah minyak wangi. Di tangan kiri pemuda
tersebut ada selembar uang lima ribu rupiah. Penulis akhirnya sadar bahwa
minyak tersebut dijual seharga lima ribu dan penulis pun menolak untuk
membelinya karena dirasa tak bermanfaat. Si penjual kemudian mendesak dan
memukulkan tangannya beberapa kali ke gerbang pintu makam tersebut sambil
berusaha meyakinkan bahwa minyak jualannya adalah barakah Sunan Kalijaga.
Penulis hanya bisa tersenyum melihat tingkah orang itu dan tetap memutuskan
untuk tidak membeli minyak berkualitas rendah itu.
Ada juga orang yang
“menjual” barakahnya sendiri. Ini lebih aneh lagi karena butuh lebih banyak
keberanian untuk melakukannya. Ada beberapa orang yang punya silsilah keturunan
yang mulia (keturunan orang besar) ketika berdagang kadang “nekat” membumbui
bisnisnya itu dengan iming-iming bahwa yang membeli akan mendapat barakahnya.
Sebuah senyuman rasanya sudah cukup untuk merespons pernyataan lucu seperti
itu.
Barakah sebagai ancaman. Tak kalah aneh, sering juga barakah
dijadikan ancaman dari “orang-orang yang punya barakah” atas orang-orang di
bawahnya yang dididik sebagai pemburu barakah, sebutlah misalnya dari guru ke
muridnya. Bukan hal yang jarang ada guru yang mengancam muridnya dengan
kata-kata: “Kalau kamu tidak patuh pada saya, awas tidak dapat barakah!”. Cukup
mengancam bukan?. Tak kalah dari itu, sebuah buku pelajaran cara cepat membaca
al-Qur’an—yang tidak etis bila disebut namanya di sini—dengan garang memberikan
tulisan di sampulnya yang kurang lebih berbunyi: “Dilarang membeli buku
bajakan, hati-hati tidak barakah!”. Untunglah bagi umat ini, dalam kitab-kitab
agama Islam karangan para imam terkemuka dari yang hanya beberapa lembar hingga
yang puluhan jilid tidak ada yang bertulisan seperti itu. Yang ada justru
harapan pengarangnya agar kitabnya disalin dan dipakai orang banyak sebagai
bekal di akhirat. Sepertinya jiwa profit oriented memang kurang cocok dalam
bidang agama, lebih-lebih bila membawa-bawa urusan barakah segala.
Barakah dicabut. Ini yang sepertinya paling aneh, sepanjang
pengetahuan penulis, tak ada kisah ulama dari kalangan salaf yang mengklaim
bisa “mencabut barakah”, tapi ini benar-benar terjadi di masa ini. Beberapa
orang yang dianggap sebagai “guru agama” dengan tegas memberikan warning pada
muridnya bahwa siapa pun yang membangkang, maka barakah ilmunya akan dicabut!
Entah bagaimana caranya barakah yang sejatinya dimiliki setiap mukmin itu
dicabut oleh orang lain seolah barang fisik yang bisa diberikan dan dirampas
kembali oleh si pemberi. Yang jelas, tampaknya “guru” seperti itu tampaknya
tidak sadar bahwa barakah murid pada gurunya sering kali lebih besar dari
barakah guru pada muridnya. Barakah murid pada gurunya banyak sekali, berupa
penghormatan masyarakat, status sosial yang tinggi, rezeki yang bertambah dan
yang jelas penghormatan dan kepatuhan murid itu sendiri. Sedangkan barakah guru
terhadap muridnya sifatnya belum jelas, belum tentu ilmu yang diajarkannya bisa
melekat dalam otak si murid, apalagi bermanfaat di masyarakat. Secara teoritis,
bila seorang guru benar-benar bisa “mencabut” barakahnya atas muridnya, maka si
murid juga bisa melakukan hal yang sama terhadap gurunya hingga sang guru
kehilangan barakah sebagai seorang guru hingga ucapannya sebagai guru tidak
“laku” di masyarakat dan posisinya juga kurang diperhitungkan orang banyak.
Yang penulis tekankan di sini bukanlah mencari barakah dari
orang yang lebih tinggi derajatnya itu tidak penting, tapi kesadaran bahwa
barakah itu sering kali bersifat supra-rasional atau tidak dapat dijangkau
akal. Hanya Allah semata yang dapat menentukan siapa dan apa yang punya barakah
lebih dari yang lain. Manusia tak lain hanya berusaha mendapatkannya dengan
berbagai cara untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Karena itu,
tidak ada landasannya apabila barakah diperlakukan seperti barang fisik yang
bisa dijual, dibuat promosi, dibuat sebagai ancaman atau bisa dirampas dari
orang lain.
Akhir kata, semoga penulis dan semua pembaca dikaruniai
barakah yang melimpah dalam tiap detik kehidupan ini dan dalam setiap hal yang
diperoleh. Amin ya rabbal ‘alamin.