selamat datang di situs penuh manfaat

"hormatilah orang diatasmu cintailah sesamamu dan kasihanilah orang dibawahmu"

pesantrenku

Jln. Lintas Timur Km. 128 Desa Tugujaya Kec. lempuing Kab. OKI Sumsel 30657 fax.0712 331130 Hp.08127383443

Sabtu, 19 Juni 2010

Maklah ijtihad

mohon dikomentari agar lebih hidup

A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al jahdu atau al juhd, yang berarti al-masyaqot (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam Al-Quran disebutkan :
…      …… ( التوبة : ٧٩)
Artinya : “...... dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupannya,…..
( Q.S. At-Taubat :79).

Kata al-jahd beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian inilah, Nabi SAW mengungkapkan kata-kata:
صلوا علي واجتهدوا فى الدعاء
Artinya : “Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa”.
فاماالسجود فاجتهدوا فى الدعاء
Artinya : “pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa”.

قالت عائشة رضي الله عنها كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجتهد فى العشر الاواخر ما لا يجتهد فى غيره.
Artinya : “Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah SAW. Bersungguhnya-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir (bulan puasa) yang berbeda dengan hari yang lainnya.”

Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.

Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da menjadi ijtahada pada wazan if-ta-‘a-la berarti “usaha itu lebih sungguh-sungguh” seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktisaba, yang berarti ”usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.

Dalam istilah fuqaha ( para pakar hukum islam), pada umumnya, ijtihad dibicarakan dalam buku ushul fiqih. Pembicaraannya sering dikaitkan dengan hadits yang menjelaskan Mu’adz ibnu jabbal ketika di utus ke Yaman. Pada hadits tersebut, terdapat kata-kata ajtahidu ra’yu.

Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam di kemukakan oleh ulama ushul fiqih. Namun secara umum adalah sebagai berikut :
عملية استنباط الاحكام الشرعية من ادلتها التفصلية فى الشريعة
Artinya : “ Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam Syari’at”.

Dengan kata lain, Ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih ( pakar fiqih islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama). Dalam istilah inilah, Ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan bahkan banyak banyak fuqaha’ yang menegaskan bahwa Ijtihad itu bisa dilakukan dibidang fiqih.
Pendapat fuqaha’ dan Ulama Ushul tersebut diperkuat oleh At-Taftazani dan Ar-Rujawi. Kedua ulama’ tersebut mengatakan bahwa Ijtihad tidak dilakukan dalam masalah qath’iyat dan masalah ushul ad-din (aqidah) yang wajib dipegang secara mantap. Selain itu, mayoritas ulama ushul fiqih tidak memasukkan masalah akidah pada lapangan Ijtihad, bahkan mereka melarang untuk ber- Ijtihad pada masalah tersebut. Mereka juga beranggapan bahwa orang yang keliru dan salah dalam Ijtihad pada masalah akidah dipandang kafir atau fasiq.
Imam Malik termasuk ulama yang berpandangan seperti itu. Ia berpendapat bahwa akidah bukan masalah Ijtihadiyah dan dia juga menolak pembahasan ayat-ayat mutasyabihat. Dalam hal ini, ia berpegang teguh pada zhahir Al-Quran atau As-Sunnah serta mengimani hal-hal yang ghaib tanpa pembahasan yang mendalam. Ia berpendapat bahwa kebenaran Mujtahid dalam hal ini adalah satu. Namun, minoritas ulama ushul, seperti Al-Kamal Ibnu Al-Humam dan Ibnu Taimiyyah mengaku adanya Ijtihad dalam akidah.
Sehubungan dengan hal tersebut, kenyataan menunjukkan bahwa Ijtihad diberlakukan diberbagai bidang, yakni mencakup akidah muamalah (fiqih), dan falsafat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan disini adalah mengenai kedudukan hasil Ijtihad. Persoalan tersebut berasal dari pandangan mereka tentang ruang lingkup qath’i tidaknya suatu dalil. Ulama ushul memandang dalil-dalil yang berkaitan dengan akidah termasuk dalil qath’i, sehingga dibidang ini tidak dilakukan Ijtihad. Mereka mengatakan bahwa mujtahid dibidang ilmu kalam hanya satu. Sebaliknya, golongan mutakallimin memandang bahwa dibidang ilmu kalam itu terdapat hal-hal yang zahaninyat, karena ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan Ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar. Kalaupun melakukan kekeliruan, itu tetap mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul sekalipun sama-sama menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran disini terbatas dalam bidang fiqih.
Menurut Harun Nasution, arti Ijtihad seperti yang telah dikemukakan diatas adalah Ijtihad dalam arti sempit. Dalam arti luas, menurutnya Ijtihad juga berlaku juga pada bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafat.

Telah kita ketahui bahwa Ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul SAW. Sepanjang fiqih mengandung “Pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, maka Ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya. Dalam hubungan inilah, Asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung. Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus dan nash-nya. Apabila nash-nya sudah berahir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas, dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada Ijtihad mengenainya.
Dalam masalah fiqih, Ijtihadbi ar-ra’yu telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Beliau sendiri memberi izin kepada Mu’adz Ibnu Jabbal untuk ber- Ijtihad ketika Muadz diutus ke Yaman. Umar Ibnu Al- Khaththab sering menggunakan Ijtihad bi Ar-ra’yu apabila Ia tidak menemukan ketentuan hukum dal Al-Quran dan As-Sunah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para Tabi’in sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan ahl Ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadits. Umar Ibnu Khaththab dipandang sebagai pemuka ahl Ar-ra’yu.
Demikianlah penggunaan ra’yu terus berlangsung secara alami. Pada zaman Imam Syafi’i, cara penggunaan ra’yu itu disistematiskan sehingga ada kerangka acuan yang jelas, seperti apa yang dikenal dengan metode al-qiyas (analogi). Imam Syafi’i yang mula-mula meletakkan persyaratan qiyas yang valid sehingga qiyas itu dapat dijadikan alat penggalian hukum yang sahih.
Setelah Rasulullah SAW. wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat. Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan. Mereka berhasil menaklukkan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Akibat perluasan wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat untuk ber- Ijtihad.
Upaya pencairan ketentuan hukum tertentu terhadap masalah-masalah baru itu dilakukan pemuka sahabat dengan berbagai tahapan. Pertama-tama mereka berusaha mencari hukum itu dari Al-Quran dan apabila hukum itu telah ditemukannya, maka berpegang teguh pada hukum tersebut, walaupun sebelumnya mereka berbeda pendapat. Selanjutnya apabila masalah itu tidak ditemukan dalam Al-Quran, mereka mencarinya dalam hadits dengan cara menggali hadits dan menannyakan hadits yang berkaitan dengan masalah yang tengah dihadapinya kepada para sahabat. Apabila masalah itu tidak ditemukan dalam hadits tersebut, mereka baru melakukan Ijtihad.











































B. Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum islam. Yang menjadi landasan diperbolehkannya ijtihadbanyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diataranya :
1. Firman Allah SWT.
       ••   
( النساء: ١٠٥)

Artinya : ” Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi diantara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu. (Q.S.An-Nisa’ : 105)
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan Ijtihad berdasarkan qiyas.
•     
Artinya : “Sesungguhnya pada hal itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” ( Ar-rum : 21)

2. Adanya keterangan dari sunah, yang memperbolehkan ber-Ijtihad diantaranya :
Hadits yang diriwayatkan oleh Umar :
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب فله اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطا فله اجر.
Artinya : “Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapat dua pahala, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala.”
Dan hadits Mu’adz Ibnu Jabbal ketika Rasulullah SAW. mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.
قال رسول الله لمعاد : بما تقضى ؟ قال : بما فى كتاب الله. قال : فان لم تجد فى كتاب الله؟ قال : اقضى بما قضى به رسول الله. قال : فان لم تجد فيما قضى به رسول الله؟ قال : اجتهد برايي. قال : الحمد لله الذى وفق رسول رسوله.

Artinya : ” Rasulallah SAW bertanya kepada Mu’adz,”dengan apa kamu menghukumi?” Ia menjawab: “ dengan apa yang ada dalam kitab Allah SWT”. Bertanya Rasulullah SAW: “jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah SWT.?”, Dia menjawab: “aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah SAW.”, Rasul bertanya lagi :”jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah?”, Berkata Mu’adz: “aku berijtihad dengan pendapatku”, Rasulullah SAW bersabda;”Aku bersyukur kepada Allah SWT. Yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya”.
Dalam hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi SAW wafat. Mereka selalu ber ijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul.

C. Hukum Melakukan Itihad
Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan Ijtihad diatas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan Ijtihad, yaitu :
a. Orang tersebut dihukumi fardu ‘ain untuk ber-ijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya. Dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid pada orang lain. Karena hukum Ijtihad itu sama dengan hukum Allah SWT. Terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah SWT.
b. Juga dihukumi fardu ‘ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dihawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c. Dihukumi Fardu kifayah, jika permalahan yang diajukan kepadanya tidak dihawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang Mujtahid.
d. Dihukumi Sunah apabila ber- Ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.


e. Dihukumi Haram apabila ber- Ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil Ijtihad-nya itu bertentangan dengan dalil syara’.





















D. Obyek Ijtihad
Menurut Al-Ghozali, obyek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil dan qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan obyek ijtihad.
Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian :
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya didalam Al-Quran dan As-Sunnah.
   • …..
Artinya : “ dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat”,
(Q.S. An-Nur: 56)
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan Ijtihad, yaitu hukum didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (tsubu) serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama’
Apabila ada nash yang keberadaannya masih zhanni, hadits ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan Ijtihad diantaramya adalah meneliti bagimana sanadnya, derajat dan perowinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan Ijtihad antara lain bagimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaqmuqayyat, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash nya, maka yang menjadi lapangan Ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan,maslahah mursalah,dan lain-lain, namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan dikalangan para Ulama’
















E. Macam-macam Ijtihad
Dikalangan Ulama’ terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. iImam Syafi’i menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama tetapi maksudnya satu, dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada ihtisan atau maslahah mursalah, sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad, menurut mereka ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas dan akal. (Dawalibi:37)
Pemahaman mereka ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid. Atau setidak-tidaknya mendekati ysari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak ( Al-Khadri : 126). Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, Yaitu :
a. Ijtihad Al-Batani,yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash
b. Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c. IjtihadAl-istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-sunnah, dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidan istishlah.

Pembagian diatas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Taqiyu Al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani. Menuurtnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu :
1. IjtihadAL- Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada aqal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadharatan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.
2. Ijtihad Syari’, yaitu ijtihad yang berdasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishap, dan lain-lain.s












F. Syarat Ijtihad
Untuk menjadi seorang Mujtahid ( yang dapat ber-¬Ijtihad), harus mempunyai syarat-syarat yang cukup, antara lain sepanjang yang telah ditetapkan oleh para Ulama Ahli Ushul, adalah sebagai berikut :
f. Mahir tentang bahasa arab dan alat-alatnya serta kaidah-kaidahnya, seperti ilmu nahwu, saraf dan sebagainya, sehingga ia mengerti benar-benar akan susunan kata ayat-ayat Al-Quran dan Hadits-hadits Nabi SAW.
g. Mengerti tentang nash-nash Al-Quran, yakni mengerti bagian-bagian dalil, seperti mana ayat yang mujmal, yang muhkam, yang ‘aam, yang khos dan sebagainya. Dan mengerti pula akan sebab-sebab ayat diturunkan, dimana ayat itu diturunkan, dimakkah atau dimadinah, dan demikianlah seterusnya, hal-hal yang bertalian erat dengan Al-Quran.
h. Mengerti tentang Hadits-hadits atau sejumlahnya Hadits-hadits dan bagian-bagiannya, seperti hadits mutawatir, ahad, mashur, sahih, dhoif dan lain sebaginya. Dengan tidak perlu sampai hafal tentang Hadits-hadits itu, asal sudah dapat membedakan mana yang sahih dan mana yang tidak, mana yang nasikh dan mana yang mansukh dan sebagainya. Begitu pula, mahir tentang ilmu musthalah hadits.
i. Mengerti tentang Ushul Fiqih. Ilmu ushul fiqih inilah yang pokok atau alat yang penting bagi seorang Mujtahid, karena dengan ilmu inilah seorang Mujtahid baru dapat beristinbath dari Al-Quran dan As-Sunnah untuk menetapkan suatu hukum syara’.

Inilah syarat-syarat pokok bagi orang yang ber-ijtihad (Mujtahid), dan dengan ini mengertilah kita bahwa ber-Ijtihad tentang hukum-hukum syara’ itu tidak mudah dan tidak ringan, tetapi nyata sulit dan berat.
Disamping itu, seorang Mujtahid, tentu saja harus sudah mengerti tentang hukum-hukum aqal, adat dan hukum syara’ agar tidak keliru dalam menghukum antara yang satu dengan yang lain. Berhubungan dengan itu maka tepatlah bahwa Mujtahid itu apabila dalam ijtihadnya akan mendapat dua pahala dan apabila salah dalam ijtihadnya akan mendapat satu pahala.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger